
Banten, Jurnalkota.com – Seba Baduy salah satu ritual budaya paling sakral dan bermakna di Provinsi Banten, kembali terlaksana dengan penuh keteguhan hati masyarakat Baduy. Dari Kanekes mereka berjalan kaki menuju pusat pemerintahan di Rangkasbitung dan Serang, membawa pesan damai dan amanah leluhur:
“Kami titipkan hutan, kami titipkan gunung.” Sebuah pesan sederhana namun dalam maknanya tentang harmoni, kearifan lokal, dan tanggung jawab ekologis yang diwariskan turun-temurun.
Namun, di tengah ramainya narasi tentang pentingnya budaya sebagai jati diri bangsa dan daerah, ironi justru tampak nyata. Hampir tidak terlihat kehadiran “para pihak” yang selama ini mengangkat nama Baduy dalam proposal, seminar, hingga festival.
Entitas-entitas yang kerap berbicara lantang soal pelestarian budaya, nyaris absen dalam momen paling otentik dan sakral dari masyarakat Baduy itu sendiri.
Apresiasi dan dukungan nyata justru datang dari satu organisasi yang masih berumur jagung “Banten Genius”. Meski baru berdiri, Banten Genius hadir bukan hanya dengan simbolik, tapi dengan tindakan konkret yaitu dengan menyediakan air mineral sebanyak 10 krat dan minuman kemasan bagi para warga Baduy yang menempuh perjalanan panjang dalam ritual Seba. Sebuah bentuk empati yang tak banyak disuarakan namun sangat terasa maknanya.
Ketua Umum Banten Genius Yemmelia, ditemui di sela-sela acara Seba mengatakan, dukungan Banten Genius dalam Seba Baduy 2025 merupakan bentuk perhatian khusus kepada masyarakat Baduy yang sedang menjalankan ritual adatnya.
Di sisi lain, Yemmelia juga menilai, pelaksanaan Seba Gede tahun ini berjalan cukup lancar dan tertib. “Kedepan masih ada beberapa hal yang mesti dilengkapi karena kita berharap tahun depan Seba Baduy dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara. Untuk itu semoga kemasannya dapat lebih dilengkapi,” ucap Yemmelia. Sabtu (3/5/2025).
Sementara itu, Sekjend Banten Genius Ahmad Yani dalam momen Seba Baduy 2025 kali ini mengingatkan bahwa, dalam menjaga tradisi tidak cukup dilakukan hanya lewat spanduk, seminar, atau festival tahunan namun butuh keberpihakan nyata, terutama saat pelakunya sendiri menjalankan ritualnya dalam kesunyian.
“Kita tidak bisa terus-menerus memanen citra dari budaya tradisional tanpa pernah hadir dalam proses keseharian mereka,” tukasnya.
Ditambahkan Ahmad Yani, Seba Baduy bukan sekadar kirab adat namun merupakan napas panjang kebudayaan Nusantara yang menolak punah oleh modernitas. “Ketika tradisi ini berjalan tanpa banyak yang menyertai, sesungguhnya kita sedang diuji. Benarkah budaya masih menjadi roh dalam kehidupan berbangsa. Atau sudah tergantikan oleh simbolisme yang hampa,” tandasnya.
“Banten Genius memilih untuk hadir tanpa pretensi, memberi tanpa pamrih, dan memahami bahwa tradisi tidak hanya untuk dipamerkan, tetapi untuk dihormati dan dijaga bersama,” pungkas Ahmad Yani menambahkan. (bs)