
Adanya dugaan kepentingan Kades Perhentian Raja Khairul Zaman di tanah milik negara bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Hal ini didasari dengan adanya kepemilikan atas tanah yang berlokasi di kawasan hutan yang terdaftar atas nama Kades Perhentian Raja Khairul Zaman.
Dalam berkas yang didapat awak media, Jurnalkota.com, Khairul Zaman dinyatakan sebagai sempadan dari tanah milik Nahar (warga Kecamatan Pantai Raja) yang telah dijual kepada Syafriadi (warga Pekanbaru).
Dalam surat SKGR yang dikeluarkan pada tahun 2005 tersebut, Khairul Zaman merupakan sempadan dari tanah yang terletak dalam kawasan hutan. Mereka diduga menguasai lahan kawasan hutan. Adanya penjualan kawasan hutan bukan saja dilakukan oleh Nahar. Bukti-bukti lain juga didapati oleh awak media saat investigasi ke lapangan.
Salah satunya adalah milik Barisno, yang juga mempunyai tanah di dalam kawasan hutan. Ironinya seluruh surat tanah tersebut dibuat oleh Camat Kampar Kiri Hilir yang saat itu juga sekaligus mengemban amanat Pj Kades Mantulik bernama Marto Saputra.
Rangkap jabatan inilah yang diduga dimanfaatkan oleh para mafia untuk membuat surat tanah. Mereka diduga bekerjasama dengan Camat Kampar Kiri Hilir sekaligus Pj Kades Mantulik Marto Saputra.
Keberadaan surat-surat tanah di kawasan hutan ini juga diakui oleh warga sekitar kawasan hutan. Menurut warga, sejak PT Rimbas Raya dicabut HGU dan dikembalikan jadi kawasan hutan, mafia tanah bersama oknum Ninik Mamak berlomba-lomba menguasai dan menjual pada orang luar, termasuk warga dari kota Pekanbaru.
“Kami tidak heran jika saat ini ada konflik antara kelompok tani Hutan Bersatu Abadi Jaya dengan masyarakat Perhentian Raja. Dengan adanya izin Kementrian LHK maka akan ada orang-orang yang terusik. Mereka akan merasa pundi-pundi keuangan mereka akan menjadi hilang.” ujar salah seorang warga.
“Mereka juga akan terganggu sebab tanah yang telah mereka kuasai ataupun mereka beli jadi hilang. Meskipun mereka tahu itu tidak sah menurut hukum tapi mereka tidak akan peduli dan akan terus mempertahankan,” lanjutnya.
“Begitu juga dengan Kades Khairul Zaman, dia juga memiliki tanah dalam kawasan hutan ini. Tanah tersebut bersempadan dengan milik Pak Nahar yang pernah menjual tanah kawasan hutan pada warga Pekanbaru bernama Syafruddin. Jadi wajar saja jika anaknya bernama Ijon berani menahan alat dari kelompok tani dikarenakan adanya keterlibatan ayahnya,” tutur warga tersebut.
“Sebenarnya telah lama kawasan hutan ini dikuasai dan diperjualbelikan oleh mafia yang bekerjasama dengan oknum Ninik Mamak. Sejak HGU PT Rimbas Raya dicabut, oknum-oknum ini memanfaatkan peluang demi memperoleh pundi pundi,” benernya.
“Pada kesempatan tersebut warga Mentulik ini juga heran kenapa ada orang Perhentian Raja merasa punya tanah di Mantulik. Padahal Mantulik adalah desa induk. Padahal Mantulik adalah desa induk.Jika mereka ada tanah di sini tentu surat-surat yang ada dikeluarkan oleh Desa Mantulik. Tapi tidak mungkin surat itu sah, sebab tanah yang dikuasai adalah kawasan hutan yang tak bisa ada surat kepemilikan. Begitu juga dengan Kades Perhentian Raja, beliau adalah orang yang paham hukum dan aturan. Negara ini adalah negara hukum, Jika benar merasa memiliki surat sah dan merasa dizalimi maka alangkah lebih bijak menempuh jalur hukum. Surat siapa yang diakui negara, Apakah surat Kades bersama masyarakat yang memiliki surat di kawasan hutan atau surat kelompok tani. Jangan malah terkesan membuat provokasi dan seperti menegakan benang basah saja.Tempuhlah prosedur dan jalan yang benar. Sebagai aparatur negara tentu Kades lebih paham dari pada kami orang awam ini,” bebernya.
“Kami berharap pihak-pihak berkompeten bisa menyelesaikan persoalan ini sesuai aturan dan hukum yang berlaku, Untuk hindari konflik maka harus bisa dipertegas siapa yang berhak mengelola.Jika benar kelompok tani ada izin maka sesuai aturan mereka bisa mengelola sesuai izin yang mereka dapatkan. Jangan ada lagi bentrok di sini karena bisa membuat warga jadi takut dan mencekam. Apalagi di sana pernah ada bentrok yang cukup berdarah-darah. Kami berharap terus dibangun suasana kondusif di Mantulik.” katanya.
“Begitu juga dengan Bupati Kampar dan APH harus bisa lebih tegas dalam menyikapi apa yang terjadi di kawasan hutan. Apakah benar atas perbuatan orang-orang yang telah menguasai dan menjual tanah kawasan hutan.Jika tidak benar maka tegakanlah aturan pada siapapun yang terlibat,” pungkasnya.
Dalam melakukan investigasi tersebut awak media juga berkesempatan bertemu salah seorang anggota kelompok tani bernama Endi, yang mempertanyakan kenapa masih ada konflik padahal sudah mengantongi izin.
“Dari data yang awak media dapatkan kelompok tani Hutan Bersatu Abadi Jaya saat ini telah mendapat izin dari Kementerian LHK. Izin yang diperoleh dengan perjuangan dan keringat darah. Kami kira setelah mendapatkan izin akan bisa mengelola dengan tenang, Meskipun cuma hak guna bukan hak milik tapi kami cukup puas karena telah bisa memperoleh izin menjadi hutan sosial untuk masyarakat Mantulik,”ungkap Endi.
“Tapi kenyataannya kami tidak juga bisa tenang dalam mengolah Kawasan hutan sesuai izin yang didapat. Ada pihak-pihak yang coba mengganggu dan menteror kami. Kami dibilang adalah mafia tanah. Padahal kami ada izin resmi. Jadi mafia tanah itu seperti apa? Apakah orang-orang yang dapat izin resmi dari negara atau orang-orang yang coba kuasai dan jual kawasan hutan tanpa aturan dan izin? Saat ini kami hanya ingin tenang dan damai. Kami tak ingin lagi ada bentrok dan konflik dengan pihak mana pun. Kami Ingin meminta adanya sikap tegas dari aparat penegak hukum dan pemerintah terkait khususnya Bupati Kampar agar apa yang terjadi tidak makin berlarut larut dan bisa menimbulkan hal hal yang tidak dinginkan. Bila perlu kami memintak copot Kades Perhentian Raja yang suka memprovokasi masyarakat yang tidak tau keadaan sebenarnya,” ujarnya. (Redaksi)