Keterangan: Foto Adalah Ilustrasi
CIANJUR, Jurnalkota.com – Kepala Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, kembali menjadi sorotan. Kali ini, bukan karena prestasi atau keberhasilan, melainkan dugaan korupsi anggaran Dana Desa. Lembaga Komunitas Pengawas Korupsi (LPKP) DPC Cianjur mengklaim telah menemukan bukti kuat adanya penyalahgunaan Dana Desa sejak tahun 2021 hingga 2024.
Ketua LPKP Cianjur, Pudin, menyatakan bahwa temuan tersebut menunjukkan indikasi laporan fiktif yang mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah.
“Kami akan segera melaporkan dugaan ini ke Aparat Penegak Hukum (APH). Penyalahgunaan ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut dan telah merugikan negara secara signifikan,” ujar Pudin kepada awak media, Kamis (21/11/2024).
Laporan Fiktif dan Dugaan Kerugian Negara. Pudin menjelaskan, modus yang digunakan oleh Kades Ciputri adalah melaporkan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan alias fiktif. Anggaran yang bersumber dari APBN ini seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat desa, namun malah tidak terlihat realisasinya di lapangan.
Berikut rincian pagu anggaran Dana Desa yang diduga diselewengkan: Tahun 2021: Rp1.802.209.000 (satu miliar delapan ratus dua juta dua ratus sembilan ribu rupiah).
Tahun 2022: Rp1.271.940.000 (satu miliar dua ratus tujuh puluh satu juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah). Tahun 2023: Rp1.795.077.000 (satu miliar tujuh ratus sembilan puluh lima juta tujuh puluh tujuh ribu rupiah). Tahun 2024: Rp1.802.209.000 (satu miliar delapan ratus dua juta dua ratus sembilan ribu rupiah).
“Pagu ini seharusnya digunakan untuk proyek yang jelas dan terukur. Namun, setelah investigasi kami, pekerjaan yang dilaporkan tidak ditemukan di lapangan. Tidak menutup kemungkinan ini adalah pekerjaan fiktif,” tegas Pudin.
Pelaporan yang Tidak Transparan. Selain dugaan laporan fiktif, LPKP juga menyoroti ketidakpatuhan Kepala Desa terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Berdasarkan aturan tersebut, anggaran Dana Desa harus dipublikasikan melalui sistem atau papan informasi di kantor desa. Sayangnya, laporan penggunaan Dana Desa ini justru tidak tercantum dalam sistem.
“Keterbukaan dalam penggunaan anggaran adalah bentuk tanggung jawab kepada masyarakat. Ketika hal ini dilanggar, sudah ada dasar hukum untuk menduga adanya penyalahgunaan dana,” lanjut Pudin.
Pasal Hukum yang Relevan. Dugaan korupsi ini dapat dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Pasal 3 mengatur hukuman bagi pihak yang menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda hingga satu miliar rupiah.
Kades Ciputri Menghilang dari Kantor Desa. Sejak dugaan penyalahgunaan Dana Desa mencuat, Kepala Desa Ciputri jarang terlihat di kantornya. Awak media yang mencoba mengonfirmasi tidak mendapatkan jawaban, karena Kades Ciputri tidak berada di lokasi. Beberapa warga desa menyebutkan bahwa aktivitas kepala desa telah berkurang drastis sejak kasus ini menjadi sorotan.
“Kami harap APH segera turun tangan untuk mengusut kasus ini, karena ini menyangkut hak masyarakat yang telah dirampas,” tutup Pudin. ( Red )